Cinta pun ada di Papua

Foto Abdu L Wahab.

Abdu L Wahab

Ada Cinta Di Papua

Inilah salah satu akhlak yang di ajarkan oleh agama manapun. Karna yang kutahu semua Agama mengajarkan cinta kasih sesama manusia, kelembutan, kesabaran.

Sperti dalam foto ini. Terlihat sebuah keharmonisan antara orang tua dan anak meski beda Agama.

Rudi kecil memilih memeluk agama Islam, sedang sang ayah beragama Keristen.

Meski beda agama keharmonisan Anak dan orangtua di Papua ini tidak sedikitpun menimbulkan sebuah masalah dalam kehidupan sehari”.

Bahkan Rudi juga di izinkan oleh sang ayah untuk menimba ilmu di Pon Pes Al Payage.

Lihatlah betapa perbedaan suatu agama tidak menjadi sebuah sekat dalam keluarga. Rudi yang stiap hari mengaji, mendengar petuah” Kh Saiful Islam Al Payage di Pondok, mengerti betul pentingnya Akhlak terhadap orang tua meski berbeda Agama.

Saya jadi teringat sebuah kisah. Dimana dahulu ketika Kanjeng Rasulullah SAW mengakhiri salat subuh berjamaah dengan salam, lalu melakukan zikir bersama-sama dan selesai berdoa, Sahabat Umar bin Khaththab memberanikan diri untuk bertanya kepada Rasulullah.

“Wahai Rasulullah, mengapa hari ini salat Subuhmu tidak seperti biasanya?”

“Kenapa? Apa yang berbeda?” Tanya Nabi.

“Sangat lain, ya Rasulullah.
Biasanya engkau ruku dalam rakaat yang kedua tidak sepanjang pagi ini. Tapi engkau ruku lama sekali. Mengapa?”

“Aku juga tidak tahu. Cuma tadi, pada saat aku sedang ruku dalam rakaat yang kedua, Malaikat Jibril turun lalu menekan punggungku sehingga aku tidak dapat bangun I’tidal.”

Umar semakin heran.

“Mengapa Jibril berbuat seperti itu, ya Rasul?”

Nabi menggeleng ramah seraya berkata, “Aku juga belum tahu, karena Malaikat JIbril belum menceritakannya kepadaku.”

Dengan perkenan Allah SWT, beberapa waktu kemudian, Malaikat Jibril, berkata kepada Nabi SAW:

“Muhammad. Aku tadi diperintahkan Allah SWT untuk menekan punggungmu dalam rakaat yang kedua. Sengaja agar Ali mendapat kesempatan salat berjamaah denganmu, karena Allah sangat suka kepadanya bahwa ia telah menjalani ajaran agama-Nya secara bertanggung jawab, yaitu dengan menghormati seorang kakek tua beragama Yahudi. Dari penghormatannya itu sampai terpaksa dia berjalan pelan sekali. Jika punggungmu tidak kutekan tadi, pasti Ali akan terlambat dan tidak memperoleh peluang untuk menunaikan salat Subuh berjamaah bersama denganmu.”

Kenapa dengan Sahabat Ali?

Inilah kisahnya:

Pada hari itu Sahabat Ali bin Abi Thalib bergegas bangun untuk dapat mengerjakan salat Subuh berjamaah seperti biasanya di masjid bersama Rasulullah SAW.

Langit masih amat gelap ketika Sahabat Ali keluar dari rumahnya dan berjalan tergesa-gesa menuju ke masjid.

Sahabat Bilal sudah memanggil-manggil dengan suara azannya yang berkumandang merdu ke segenap penjuru dan sudut-sudut kota Madinah.

Namun ketika Sahabat Ali bin Abi Thalib berada di jalan menuju tempat jamaah yang jaraknya masih cukup jauh, ternyata di depannya ada seorang kakek tua beragama Yahudi yang melangkah pelan sekali karena usianya yang telah lanjut (uzur).

Kakek itu berjalan tertatih-tatih.
Sahabar Ali sebenarnya sudah berusaha agar tidak ketinggalan mengerjakan salat tahiyatul masjid dan qab liyah Subuh sebelum bersama Rasulullah SAW dan para sahabat lainnya melaksanakan jamaah.

Tapi, lantaran Nabi mengajarkan supaya setiap umat Islam menghormati orang tua, siapa pun orang tua itu dan apa pun agamanya, maka Sahabat Ali terpaksa berjalan di belakang kakek itu.
Karena si kakek berjaan amat lambat, Sahabat Ali pun melangkah sangat pelan. Kakek itu lemah sekali, dan Ali tidak sampai hati untuk mendahuluinya, takut kalau-kalau kakek Yahudi tersebut kena celaka atau terjatuh.

Akibatnya, ketika mendekati masjid langit sudah hampir kuning.
Kakek itu melanjutkan perjalanannya, melewati masjid dan tidak masuk ke dalamnya, sebab tempat ibadah agama Yahudi bukan di masjid. Sahabat Ali menyangka salat Subuh pasti sudah usai. Namun ia tetap cepat-cepat masuk ke dalam masjid.
Alangkah herannya Sahanat Ali. Tahu-tahu Nabi dan para sahabat masih ruku pada rakaat yang kedua, berarti Sahabat Ali punya kesempatan untuk menunaikan salat berjamaah.

Sebab, jika masih bisa menjalankan ruku bersama, berarti masih kebagian satu rakaat. (Kitab Mawa’idhul Ushfuriyyah, Hadist Ketiga)

Itulah sejatinya ajaran sebuah agama. Menghormati sesama meski berbeda Agama.

Saya jadi teringat nasehat Gus Mus dalam acara Mata Najwa

“Tetaplah jadi manusia, mengertilah manusia, dan manusiakanlah manusia” KH.Mustofa Bisri .

Dari sini kita belajar bahwa sudah sepatutnya seseorang menggapai ukhuwah yang lebih tinggi ,lebih mendalam dan lebih mendasar dari ukhwah Islamiah, ukhwah wathoniah . Karna ukhuwah basyariyah tidak dibatasi oleh baju luar dan sekat-sekat primordial seperti agama, suku, ras, bahasa, jenis kelamin, dan sebagainya.

“Mari bersama Kibarkan panji cinta sejati dan persaudaraan abadi.”

‪#‎Nayak‬